印尼华人 (21/1) |
- GARIS TANGAN DIA
- NASIB TRAGIS DUA GENERASI TIONGHOA PERANTAUAN INDONESIA (2)
- NASIB TRAGIS DUA GENERASI TIONGHOA PERANTAUAN INDONESIA (1)
- APAKAH ORANG TIONGHOA ITU ANGGOTA DEWAN JUGA ?
- KI SABDHO SUTEDJO, DALANG BERDARAH TIONGHOA
Posted: 10 Sep 2011 01:30 AM PDT Cerpen: Bukan tanpa alasan Kinar memilih dunia kamera sebagai jalan hidup, atau lebih tepat: jalan menuju kehidupan yang sebenarnya. Lima kali dikhianati kekasih, dengan tiga berkasus penduaan, dan semua berakhir dikubang perceraian. Yang kini masih juga mencipta gesek muatan listrik sewaktu runtuh hujan badai, menjadi vertigo di lamat impian, ingatan, dan sesekali menggesek dawai rongga-rongga dendam. Datanglah, kataku padanya, kau akan menemukan model yang cocok untuk tema pameran tunggalmu bulan depan. Pria-pria terbaik dalam hal perawatan tubuh akan menghadiri ulang tahun Luna. Rambut-rambut mereka yang termodif, kulit yang memainkan kesan dingin namun kekar, juga tangan-tangan mereka yang tepat menimang pinggang. Ayolah, kau sahabatku bukan? Aku tak ingin kau terus larut. Sam, jangan kau minta, aku pasti datang. Itu adalah perburuanku: ujarnya sambil menatap ke luar jendela apartemen. Deru pesawat menyambut daun jatuh. Matahari menaburkan hidangan musim panas, mengabarkan tentang hujan yang tersesat di simpang pertanda. Tak sempat kuperhatikan, terlagi kupastikan dimana dia. Piringan hitam dan turn table membagi konsentrasi. Lagi pula, kerumun party goers yang turun, membuat mesin ingatku bekerja lebih keras untuk mampu mengenal setiap satu, kecuali yang memang biasa tertemu, terlagi jarang berganti mode. Sepintas kulihat blitz menepis-nepis ke arah meja sudut sana. Aku yakin, kemungkinan besar itu dia: yang sedang asyik dan teliti memandangi objeknya, mencari fokus tertepat. Meski aku lelaki dan Kinar perempuan, perlu kusampaikan, bacaanku akan perasaannya amat tepat. Bermula dari persahabatan masa sekolah, hingga beranjak kepala tiga. Tapi harus ada pengakuan lain: dia adalah perempuan paling tahan banting yang pernah tersimpan dalam ingatan-ingatan panjangku. Sayangnya, aku tak pernah bisa untuk jatuh hati padanya. "Kuantar, ya?" "Baik benar, kau Sam? "Tidak lebih baik dari cahaya matahari pukul tiga sore," jawabku berkelakar. Sebagai fotografer untuk model di sebuah majalah, baginya memang, cahaya alami yang meratai objeknya jauh lebih nikmat dari makanan, meski buatan chef terbaik di dunia sekalipun. Jam tiga pagi. Kesunyian menjadi kengerian tiap dinding. Anjing penjaga merintihkan repertoar entah. Entah apa yang ia cari di gelap semak, di antara sampah-sampah sisa makan malam manusia. Hei! Konsentrasi!: Kinar menepuk punggungku. Sori, jawab akuanku gugup, aku sedang tertarik pada objek itu. Kau mau istirahat, wahai DJ? Tidurlah di tempatku, ya setidaknya nostalgialah: Kinar menawari. Tak masalah wahai fotografer, ujarku menggoda, untuk sahabat sejati kenapa tidak? Mumpung sedang tak bersuami he-he-he. Ia merespon pernyataanku barusan, dengan senyum kuyu yang getir. Ada isyarat: aku kelewatan. Ia pun lantas lenyap ke ruang belakang. Rumah kecil di tepi sungai ini mengingatkanku pada rhapsody yang pernah kuracik waktu masih sekolah musik, di kota ini juga, Jakarta. Sebelum pada akhirnya kuputuskan untuk memperdalam di Australia. Riuh daun yang menyisir tepian. Kukuk burung malam. Gemercik aquarium selalu menjelma saing-suara sungai itu sendiri. Juga geletar meteran listrik yang berat. Yang, bila semua itu terpadu di tangan jiwa bermusik, akan jadi alunan serenada paling komposif; langsung tertuai dari alam aslinya; bernama: kehidupan. Minumlah! Kinar datang membuyar lamunan: Aku ke kamar kerjaku sebentar, cek roll, katanya kemudian. Terimakasih, jawabku sambil berpelan menggiring bibir ke susu coklat hangat dengan karamel dan sedikit moca. Eh, sebentar, boleh aku ikut? Boleh, masuklah!: Kinar mulai membuka ruang pencucian film. "Bagaimana pestanya? Dapat objek? "Lumayan. Lihat dulu yang ini!" "Boleh tanya sesuatu?" "Silahkan, mas wartawan dadakan." "Kenapa semuanya mesti potret telapak tangan?" "Dari pada pantat, susah to?" "Bukan begitu maksudku, bukankah ada asap, ada api?" "Tapi percayalah, tidak baik main api di sini, ntar aja di luar. Oke?" "Baiklah," jawabku maklum, sambil terus terbingung dengan serba neka telapak tangan dari segala sisi, dengan guratan-guratan garis yang terfokus benar dalam pengambilan gambarnya. Terlalu lama menunggu; membuatku terlelap semakin jauh di sofa. Harum kopi Brazil yang diberi sedikit mrica, serai, dan madu; dahsyat mempengaruhi saraf, mampu membangunkan siapapun, termasuk aku yang lelap kelelahan. Dan lamat-lamat, kulihat seombyok foto-foto bergambar telapak tangan dengan berbagai ukuran, terpampang di hadapanku, di segenap meja dan kursi. Dah bangun…? Tanya Kinar pelan. Enak ya, bisa menikmati malam, ujarnya lagi. Emang kenapa? Aku tak mengerti. Kinar mencoba mengelak dari seranganku: Ah, sudahlah. Nikmati kopi itu. Eit, cuci muka dulu sana. Jigongmu tuh… Di kamar mandi, aku tahu, semalam Kinar telah mengoleskan lotion anti nyamuk ke lengan dan kakiku. Perhatian betul dia. Tapi itu tidak lebih penting dari sesuatu yang kembali teringat waktu kubersihkan muka di depan cermin wastafel: untuk apa Kinar memilih tema fotografinya dengan telapak tangan? Dan, apa makna semua kejanggalan baru yang kulihat darinya, seperti embun kaca yang berwarna ungu, berkilat saat lampu kamar kecil ini padam, atau sebab ada cahaya matahari di luar yang masuk sampai, menelisik, membias bentuk-bentuk gelap jadi seorang pangeran telapak tangan? Ah. Entahlah. "Kenal orang ini, bukan?" "Coba lihat." "Semalem di meja sudut. Kalian deket, to?" Kuambil dan kulihat hasil foto medium menyamping dua fokus itu, tangan kiriku masih sibuk membersih muka dengan krim perawat kulit wajah yang kubawa. Nampaklah di mataku kini: seorang lelaki bercambang tipis duduk di antara ramping anggur merah, juga beberapa hidangan pesta lain, tangannya menggelepak lelah, jam tangan kendur di pergelangan, ada tampak garis tangan lintang pukang di sana. Benar, kataku kemudian, aku mengenalnya. Sangat malah. Emang kenapa? Garis tangannya menjawab kegelisahan dan ketakutanku tentang harapan terhadap para lelaki, ujar Kinar sambil berdiri menggenggam cangkir ke arah tirai jendela yang sedikit terbuka. Garis tangan? "Ya," katanya tenang menatapi awan pagi Jakarta yang tiba-tiba murung secepat ini, "kau juga percaya, to? Serumpun awan itu, menjadi petanda bagi para klimatolog untuk menyimpulkan cuaca yang akan terjadi sepanjang hari?" Aku hanya kedip, bengong merespon tanya retoris Kinar yang tak bertampik di palung manapun. Ia membalas. Menatap. Menembus kecurigaan yang kusimpan diam-diam. Lalu beralih pandang; kali ini pada jemarinya sendiri yang mulai memainkan lingkar gagang bermotif mayang di cangkir kopi Brazil yang mengepul hangat sepadan suasana redup: Sam, katanya melanjut, sejak aku bertemu Lampayun di Bentara Budaya, dan palmistrian itu memberitahu tentang rahasia garis tangan, sejak itu pula, aku menyadari banyak hal yang terlewati dengan perih, tanpa suatu kewaspadaan, juga kesiapan sedikit pun dariku sendiri. Terutama dalam masalah cinta. Kinar mendekat ke arah sofa. Tangan kirinya masih menimang kopi. Sam, lihat foto dekat tatak cangkirmu itu, ujarnya menunjuk. Aku melihat foto telapak tangan yang kuyakin hasil crop dari sebuah perbesaran foto utuh. Konturnya nampak sedikit ngeblur. Dan, ada beberapa lingkar pena merah di beberapa tempat yang terhubung dengan tanda panah, juga simbol-simbol aneh. Itu garis tangan milik Jo, katanya kemudian. (Jo adalah suami Kinar yang terakhir cerai kurang dari setahun yang lalu). Lihat garis pasangan di bawah kelingking kirinya. Ada empat garis yang sama-sama tegas di sana. Kau tahu maknanya, Sam? Tidak. Aku memang tak pernah tertarik dengan ramalan. Jadi, aku tak mengerti sama sekali. Ini bukan ramalan, Sam. Ini perhitungan-perhitungan yang teruji. Mata kinar bercahaya. Antausias yang kuat. Ia meletakan cangkir dan duduk merebut foto di tanganku: Kau lihat ini? Mestinya dari garis jantung inilah aku tahu; Jo bukanlah tipe orang setia, ketika itu. Ketika itu? Ya, sebab ada beberapa garis tangan yang berubah sesuai perilaku orang bersangkutan. Kinar menunjuk garis teratas pada foto telapak tangan itu, yang terlihat samar, tidak tegas, dan banyak cabang kecil-kecilnya. Ia juga menjelaskan tentang garis pendek-pendek bawah kelingking itu: Ini makin menguatkan, ini tanda dia mencintai banyak orang, dan mudah jatuh cinta. Tidak seperti ini, Sam. "Meridian?" Tepat. Garis tangannya sangat rapi dan tegas. Garis kehidupan, garis kesuksesan, garis karirnya, bahkan garis perkawinannya yang tunggal. Ditambah garis hati, atau garis jantung, yang panjang dengan sebuah cabang jodoh, dimana kuyakin: itu menuju ke arahku. Dan… aku ingin. Aku ingin dia menggantikan semua kenangan pahit tentang lelaki dalam hidupku. Aku ingin dia menjadi suamiku yang terbaik dan terakhir. Aku menaruh hati padanya, Sam. Pada Meridian, sahabatmu itu. "Padanya, atau pada garis takdirnya?" "Padanya sekaligus garis takdirnya, Sam." "Tidak! Menurutku kau hanya mencintai praduga dengan cara pikirmu yang aneh itu. Dengar, cinta itu perasaan, Kin. Buka hitung-hitungan tangan." "Kau tahu, Sam? Sejak kalian duet vintage house di Balai Sarbini, dan kamu mengenalkan Meridian padaku. Sejak itu pula perasaanku tumbuh tak menentu. Malam-malam jadi teramat menggelisahkan. Ditambah, Jo yang aku tahu makin sering selingkuh, dan perceraian dengannya sedang kuurus pula.." "Kenapa baru dibahas sekarang?" "Aku takut, Sam. Lagi pula kita baru ketemu lagi. Dan, aku mesti hati-hati dengan perasaanku sendiri. Masa lalu telah menjadi bukti yang paling akurat. Perasaan harus didampingi dengan perhitungan-perhitungan lain. Termasuk garis tangan." "Bagaimana jika perhitungan itu salah? Bagaimana jika pradugamu itu kosong? Bagaimana…" "Aku tak peduli! Aku tak peduli. Ah, sudahlah. Aku tak ingin berdebat. Aku hanya ingin kamu menjadi kurator untuk pameran foto-foto garis tangan yang kuambil. Bulan depan. Itu pun jika kamu bersedia." "Untuk Meridian?" "Tidak semua." "Aku tidak mau! Kau wanita spesial, Kin. Jangan kau gadaikan spesialmu itu dengan mengejar kemungkinan-kemungkinan dari sebuah garis tangan…" "Bukan kemungkinan, Sam. Itu…" "Perhitungan akurat? Iya? Dan telah terbukti sejak jaman dinasti Cina? Ufh… Kin, aku sudah sering denger. Sekarang jamannya beda!" "Manusianya sama, to?! Garis tangannya tetap, to?" "Terserah! Yang jelas aku tak mau!" "Tapi, Sam…" "DIA KEKASIHKU!" Aku menghentak kenyataan yang kupendam! Diam kemudian; tatapan kami saling menghisap ketegangan satu sama lain. Saling melumat keinginan dan kebimbangan dalam dada masing-masing. Aku tahu, Kinar masih tak yakin. Atau bahkan telah muak. Bibirnya yang lembab nampak ternganga. Alisnya berkerut. Kelopak matanya gemetar merindingkan bulu-bulu kecil antara kornea yang berlarian mencari peyakinannya dari dalam mataku yang terengah. Tangannya pun tak lagi konsentrasi pada setangan cangkir kopi Brazil yang hampir dingin dan mengendapkan muatannya. Tapi mungkin harus kukatakan ini: di garis tangan milikku dan Meridian, ada petanda lain yang belum sempat Kinar baca, atau barangkali, Lampayun tua itu lupa mengajarkan; tentang garis samar yang melingkar di bawah ibu jari kami. [Susi Lim, Jakarta, Tionghoanews] |
NASIB TRAGIS DUA GENERASI TIONGHOA PERANTAUAN INDONESIA (2) Posted: 10 Sep 2011 01:18 AM PDT Untuk memperkokoh dan memperluas daerah kekuasaan serta militernya, dengan mengibarkan bendera perlawanan terhadap Jepang, PKT mengumpulkan dana di luar negeri dengan memanfaatkan rasa prihatin komunitas Tionghoa di luar negeri terhadap masa depan Tiongkok, serta perasaan rindu pada sanak saudara mereka di dalam negeri Tiongkok. Tertipu oleh kebohongan, ayah saya bersama beberapa tokoh patriot selain mengabdi secara fisik, juga dengan kemasyhuran diri menasehati orang-orang untuk memberi sumbangan dana, meskipun tidak langsung namun pada kenyataannya telah memberi efek tranfusi darah bagi roh jahat. Setelah PKT merebut kekuasaan, duta besar pertama untuk Indonesia saat itu Wang Renshu (nama samaran Ba Ren) yang juga adalah teman sekolah dan sahabat ayah. Dengan upacara megah, Ba Ren menerima ayah saya dan sejak saat itu beliau selalu menjadi tamu agung pada setiap kesempatan acara kedutaan besar maupun konsulat di berbagai kota, serta menjadi alat propaganda PKT. Sungguh di luar dugaan, Ba Ren yang berkedudukan sedemikian tinggi, pada 1957 dia dituding sebagai golongan kanan dan disingkirkan ke daerah pedesaan, sejak itu tak terdengar kabar beritanya lagi. Menurut kabar Ba Ren akhirnya meninggal di desa. Fei Zhengdong (dulu menjabat sebagai kepala sekolah pertama Sekolah kursus bimbingan Hua-qiao di Beijing), salah seorang cendekiawan yang juga sering berhubungan dengan ayah, dituduh PKT sebagai golongan kanan. Fei Zhengdong merupakan saudara sepupu Fei Xiaodong, tokoh demokrasi yang belakangan ini namanya sering ditulis di Harian Ren Ming, mungkin juga adalah saudara sepupu Fei Zhengqing yang ada di Amerika. Catatan sejarah dan banyak kenyataan membuktikan bahwa bencana senantiasa menimpa masyarakat komunitas Tionghoa di negara mana saja yang menjalin hubungan dengan pemerintahan PKT, juga membuat standar moral dan kriteria penilaian benar dan salah dari komunitas tersebut menjadi rancu. Ambil Indonesia sebagai contoh, hubungan diplomatik antara Indonesia - RRT telah mempercepat ekspor gerakan revolusi gaya PKT ke Indonesia, dan menyelubunginya dengan label yang sah, disini kita tidak membicarakan bagaimana PKT menopang dan mendukung PKI (Partai Komunis Indonesia), bagaimana PKI meniru caranya menempatkan ranting partai di pedesaan, mencoba untuk merebut kekuasaan. Kudeta yang gagal menyebabkan hancur seluruh kekuatannya, merembet ke seluruh komunitas Tionghoa di Indonesia ikut mengalami kesengsaraan yang luas diketahui masyarakat dunia. Terhadap kejadian ini, PKT sama sekali bungkam, tidak berani mengambil tindakan. Saya di sini hanya menceritakan apa yang masih terekam dalam ingatan akan terpaan langsung yang diderita oleh komunitas Tionghoa di Indonesia atas perbuatan PKT, setelah terjalin hubungan diplomatik antara RRT - Indonesia. PKT yang anti kemanusiaan menyebarkan bibit dendam ke dalam masyarakat komunitas Tionghoa Indonesia, menciptakan pertikaian dan perpecahan secara dibuat-buat, menimbulkan gelombang dahsyat dalam komunitas Tionghoa Indonesia yang semula hidup dalam keharmonisan, mengakibatkan orang terkotak dalam golongan kanan dan kiri, benar-benar telah meracuni kaum muda dan setiap rumah tangga. Pada awal dan pertengahan era 1950-an, terjadi perebutan kekuasa-an ala Revolusi Besar Kebudayaan di komunitas Tionghoa dengan PKT yang bermain dibalik layar sebagai sutradaranya, masyarakat Tionghoa di Indonesia yang terhasut dengan menyanyikan Mars Tentara Sukarela (lagu kebangsaan RRT) memasuki teritorial masyarakat Tionghoa tingkat atas di Indonesia, merebut posisi ketua himpunan, perdagangan, perserikatan orang sedaerah, sekolah dan surat kabar komunitas Tionghoa. Dari tingkat ibukota sampai provinsi, dari provinsi hingga wilayah kota, di tempat mana saja asal ada komunitas Tionghoa, tak ada yang tidak dijangkau, terhitung jutaan, puluhan juta orang Tionghoa terlibat dalam kancah pusaran politik buatan manusia ini. Hati nurani manusia dibengkokkan, bertemu dengan sahabat lama di tengah jalan, dikarenakan pendirian politik yang berbeda maka saling membuang muka, dan yang lebih mengenaskan, murid yang bersekolah haluan kanan, disebabkan jumlahnya yang sedikit, jika bertemu dengan murid sekolah haluan kiri mereka terpaksa menundukkan kepala seraya menghindar. Tidak berhubungan dagang dengan orang berhaluan kanan, tidak menjalin hubungan cinta dan pernikahan dengan anak-anak orang berhaluan kanan. Singkat kata, sistim pendidikan revolusioner telah menggantikan sistim pendidikan moral tradisional. Bila melanggar peraturan lisan ini (kenyataannya adalah peraturan yang diterapkan oleh kedutaan dan konsulat PKT), jajaran atas dimulai dari pejabat kedutaan besar PKT di Indonesia sampai ke bawah pada lapisan masyarakat Tionghoa biasa akan memandang dan memperlakukan orang tersebut dengan sikap yang berbeda. Seorang paman saya, Xie Zhongdao (pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah Xin Hua ke 7), karena berteman dengan beberapa orang yang dekat dengan Kuomintang (KMT), maka ia menerima perlakuan yang berbeda dari orang-orang berhaluan kiri, seorang anaknya Xie Yuan-guang yang sekolah dan bekerja di Tiongkok pun menerima akibat rentetan dari pendirian politik ayahnya pada masa lalu. [Chen Difei, Surabaya, Tionghoanews] |
NASIB TRAGIS DUA GENERASI TIONGHOA PERANTAUAN INDONESIA (1) Posted: 10 Sep 2011 01:16 AM PDT Mewakili ayah mengundurkan diri dari keanggotaan Partai Komunis yang telah disandangnya sejak tahun 20-an. Ayah saya Chen Xinpan (pernah memakai nama : Chen Fujin, Chen Fulien, Chen Ximing) lahir di Indonesia, di masa remajanya pergi ke RRT untuk bersekolah. Dimulai menuntut ilmu di sekolah Jimei yang didirikan Chen Jiageng (Di Asia Tenggara terkenal dengan nama Tan Kahke) di Provinsi Fujian, kemudian menjadi pengikut Kepala Sekolah Chen (pada dokumentasi foto yang tersimpan di museum Chen Jiageng terdapat gambar ayah saya) serta pernah bersekolah di Beijing, terakhir tercatat sebagai lulusan Universitas Jinan. Tiongkok era 1920-an berada dalam masa kekacauan perang, rakyat hidup sengsara, aneka ragam ideologi berkembang, berbagai kekuatan politik bersaing memperluas pengaruh dalam era kekacauan tersebut, memperebutkan kaum muda. Ayah adalah sesepuh kalangan elite marga Chen yang kaya serta berpendidikan tinggi, ditambah lagi lahir di Indonesia dan mempunyai hubungan ke luar negeri, tentu saja telah menjadi target perebutan PKT. Termakan oleh rayuan propaganda manis yang menyesatkan, ayah tertipu masuk menjadi anggota Partai Komunis Tiongkok, kemudian aktif mengadakan berbagai kegiatan perhimpunan petani di kampung halaman Haideng dan daerah Anxi di Provinsi Fujian (Hokkian), dengan tujuan merebut kekuasaan melalui kekerasan. Tahun 1927, PKT mengobarkan kekacauan di mana-mana, memanfaatkan kesempatan merebut kekuasaan negara dan kekuasaan militer, yang mengakibatkan pertama kali pecahnya kerjasama Kuomintang dan PKT. Kuomintang (KMT, Partai Nasionalis Tiongkok) memulai mengadakan aksi pembersihan internal partai, menumpas anggota PKT yang bersembunyi dalam KMT, penangkapan anggota PKT dilakukan di seluruh negeri. Ayah yang merupakan tokoh menonjol di Kabupaten Haideng langsung saja ditangkap, beruntung kakek pada masa itu adalah pengusaha kaya di Jakarta, melalui perantara asosiasi pedagang Huaqiao (perantau Tionghoa) Jakarta, ayah dapat tertolong keluar penjara dan pulang ke tanah asal – Indonesia, sejak saat itu ia melepaskan diri dari organisasi PKT. Menurut peraturan organisasi PKT, bila seorang anggota tertangkap dan dipenjara, maka secara otomatis keanggotaannya gugur, segala hubungan diputuskan, jika bisa keluar dari penjara, setelah melalui pemeriksaan dan penilaian ulang baru bisa masuk kembali sebagai anggota partai. Sekembalinya ke Indonesia, ayah terjun dalam bidang kebudayaan dan pendidikan komunitas Tionghoa luar negeri; pada 1928 mengambil alih Sekolah Xin Hua Jakarta yang diambang kebangkrutan, menjabat sebagai Kepala Sekolah ke-5, mengganti sistem sekolah tersebut menjadi sekolah umum. Dengan menggalang sumbangan dana dari berbagai pihak serta kerjasama dengan segenap guru pengajar, bekerja keras menghidupkan kembali sekolah yang sekarat, menjadikannya sebagai salah satu sekolah Tionghoa ternama di Jakarta, bersamaan dengan pengelolaan sekolah, ayah bersama teman-temannya menciptakan pula kegemilangan, dengan menerbitkan harian Nanqiao Singapore dan Shenghuo Indonesia serta menjadikannya sebagai harian ternama di Singapura dan Indonesia. Sebagai keturunan Tionghoa, ayah saya menyebarkan tradisi budaya lampau bangsa Tionghoa, yang membawa pengaruh baik bagi keharmonisan masyarakat serta menggerakkan kebaikan dalam hati masyarakat. Perbuatan tersebut telah memperoleh sanjungan dan penghormatan dari orang-orang. Selain itu, dalam masa perang Jepang, dengan menanggung risiko keselamatan jiwa, ayah menolong sejumlah cendekiawan Tiongkok yang melarikan diri ke Indonesia, seperti Chen Jiageng, Hu Yuzi serta beberapa tokoh lain. Sebagai orang yang sudah tidak menyandang keanggotaan PKT, ayah saya sering kali bersama dengan orang-orang non-PKT membantu PKT, menjadi simpatisan diluar partai. Peristiwa Xi'an (1936, dimana Chiang Kai Sek ketua KMT sempat ditahan beberapa waktu oleh PKT) memberi PKT kesempatan untuk mengatur napasnya sejenak, mengatur strategi untuk merebut kekuasaan, menggunakan kesempatan untuk menghidupkan kembali nyawanya. [Chen Difei, Surabaya, Tionghoanews] |
APAKAH ORANG TIONGHOA ITU ANGGOTA DEWAN JUGA ? Posted: 10 Sep 2011 01:07 AM PDT "Pak, orang Tionghoa itu anggota Dewan (DPRD) juga ya?" Pertanyaan itu dilontarkan warga Gunung Polisi kepada belasan anggota DPRD Kota Balikpapan saat melakukan anjangsana lokal ke proyek pembangunan di tahun 1998. "Iya Bu, memangnya kenapa?" ujar penulis. "Boleh ya, orang Tionghoa jadi anggota DPRD? Kan jarang sekali ada orang Tionghoa jadi anggota DPRD," sahut warga Gunung Polisi itu lagi. "Boleh, boleh saja," sahut saya meyakinkan, hingga membuat warga Gunung Polisi itu manggut-manggut, walau mungkin masih menyimpan perasaan kurang yakin. Pertanyaan wanita berusia sekitar 40 tahun itu amat wajar, bahkan acap kali warga melihat Suryadi Abidin berpakaian safari sebagai pakaian sipil harian (PSH), atau pakaian sipil resmi (PSR), maupun pakaian sipil lengkap (PSL) dengan lencana Manuntung di dada kiri dan papan nama di dada kanan selalu saja melontarkan tanya yang sama. "Orang Tionghoa itu, anggota Dewan ya?" Atau misalnya kala anjangsana ke luar daerah, semisal ke Bali, Sulawesi Selatan atau ke daerah lainnya; Ketua DPRD Balikpapan, Masri Suhadma; Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Mulyono S BBA atau mungkin juga Jamal Noor ketika memperkenalkan Abi selalu saja berkata: "Pak Suryadi Abidin ini, adalah warga keturunan Tionghoa satu-satunya yang menjadi anggota Dewan, bahkan mungkin satu-satunya di Indonesia." Kala mengucap kata perkenalan, ada perasaan bangga dan haru di dada anggota DPRD Kota Balikpapan, sebab di era orde baru (Orba) berkuasa memang sangat langka ada warga Tionghoa yang bisa menjadi anggota DPRD. Jangankan menjadi politisi menjadi pegawai negeri sipil (PNS) saja amat sulit bagi warga Tionghoa. Abi yang dari Golkar memang menyajikan kejutan, atau bahkan bisa dikatakan sosok "naga" dari negeri Tionghoa yang menjebol tembok dan kekuasaan orba yang terbilang adikuasa, sebagai partai memiliki kekuatan mayoritas tunggal. Tidak mudah bagi siapapun menjadi anggota dewan yang terhormat melalui Partai Golkar. Dia harus mengantongi restu dari tiga kekuatan, yang disebut tiga jalur, yakni ABG(ABRI, birokrat dan Golkar). Akan ada pembahasan dan penilaian sangat ketat ketika nama seseorang disodorkan ke dalam daftar calon anggota dewan di Partai Golkar. Satu dari tiga jalur ada yang menolak, maka nama tadi bakal terdepak, atau paling tidak berada di urutan nomor tidak jadi, yang populer disebut nomor sepatu. Abi yang berasal dari jalur "G", yang acap disebut jalur "beringin" bisa melenggang mulus masuk dalam daftar jadi anggota DPRD Kota Balikppapan di antara urutan nomor sepuluh hingga lima belas, apalagi kala itu Golkar menargetkan bakal mendapat paling apes 17 kursi dari 30 kursi. Saya sendiri pada nomor urut 13. Dan dalam Pemilu 1997 itu Golkar mendapat 15 kursi DPRD Kota Balikpapan. Andai tiga jalur di Golkar sudah menyatakan okey, masih ada yang harus ditembus pula, dan ini tidak mudah. Seorang calon anggota DPRD harus lulus pemeriksaan di Bakorstanasda (sebelumnya bernama Kokamtibda) di Kodim bagi anggota DPRD Kota/Kabupaten dan di Kodam untuk anggota DPRD Provinsi dan DPR RI yang berlangsung 5 hingga 6 jam. Selain menjawab ratusan pertanyaan tertulis, juga harus menjalani wawancara yang menyita waktu berjam-jam. Dan untuk pemeriksaan ini, juga harus dijalani calon anggota Dewan dari PPP dan PDI. Tidak boleh ada yang punya kaitan dengan partai terlarang, utamanya PKI, baik secara garis lengkung (bukan langsung dari orangtua atau dari saudara orangtua), apalagi garis lurus (dari orangtua). Bila terkait, nah habislah sudah nasib calon anggota Dewan itu. Abi bisa menjalani rangkaian pemeriksaan lulus dengan predikat baik. Jadilah Abi sebagai satu dari 30 anggota Dewan masa bakti 1997-2002. Walau hanya dijalani dua tahun, yakni sampai tahun 1999 setelah reformasi bergejolak di negeri ini. Nama Abi memang sangat popular di masyarakat. "Pak, mana orang Tionghoa yang sering ke sini. Aku senang liat dia makan kepiting, cumi-cumi dan udang," ujar seorang warga Selili Manggar kepada penulis ketika sama-sama dengan Abi di KNPI maupun di Dewan saat berkunjung ke sana. Nama Abi memang sangat melenggenda di kalangan warga Manggar. Selain sering memberi bantuan nener dan benur kepada kelompok tani tambak binaan KNPI; kala mengusung Golkar, dia juga memberikan sejumlah bantuan, seperti beduk kepada masjid di sana. Atau juga di kalangan petani tambak di Kariangau. Begitu juga di Teritip. Abi memang sangat sederhana dan bersahaja, kontras dengan penampilannya yang parlente. Dia bersedia duduk lesehan di rumah panggung milik orang Bugis di Manggar bersama dengan Gubernur HM Ardans SH, Wali Kota Balikpapan H Syarifuddin Yoes, Muspida, pengurus KNPI, dan berbaur asyik dengan warga Manggar ketika meninjau tambak binaan KNPI. Dan dengan tangannya dia menyantap udang, kepiting, cumi-cumi, bandeng, serta ikan lainnya dengan lauk seadanya. YANG PERTAMA Suryadi Abidin mungkin saja, adalah warga Tionghoa pertama yang menjadi anggota dewan di Indonesia. Tapi yang pasti dia adalah warga Tionghoa yang pertama menjadi anggota DPRD Kota Balikpapan. Dia menjadi inspirator bagi organisasi politik untuk menempatkan warga Tionghoa para elit politik. Kehadirannya di komisi D (membidangi pembangunan) klop dengan keahliannya sebagai pengusaha. Kendati dia seorang pengusaha yang politisi, Abi tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan bisnisnya, apalagi mencari proyek di Pemkot Balikpapan. Dia tetap menekuni bisnisnya di kalangan perminyakan dan lainnya. Kehadiran Abi di partai berlambang beringin Kota Balikpapan memang diawali sepak terjangnya di KNPI, organisasi pengusaha dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Lantas dia dilirik elit Golkar. Yang terus-menerus memanas-manasi Abi agar berkiprah ke Golkar, adalah sahabatnya Hasan BA, sekretaris KNPI. Rupanya masuk pula dalam pembicaraan politisi Golkar lantas disambut Mukmin Faisyal HP, tokoh Golkar, yang akhirnya menjadi sahabat kental Abi. "Bi (begitu Abi disapa akrab sahabat-sahabatnya. Karena dia warga Tionghoa, maka mendapat huruf awal A, hingga menjadi Abi. Ya, seperti juga Aliong, Ahong, Acay atau Ambai dan lainnya) aku masukkan kamu ke Golkar ya, jadi kader Golkar," bujuk Hasan, yang aktivis Golkar. Dari sanalah Abi berangkat dan kemudian menjadi kader Golkar, bahkan melambungkan dirinya menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan (FKP) DPRD Kota Balikpapan. Walau begitu , Abi bukanlah warga Tionghoa pertama yang berada di jajaran Partai Golkar, masih ada Gunawan Wibowo BE yang juga dialiri darah Tionghoa. Namun Abi tetaplah Abi yang loyal dan royal pada organisasi, seperti juga Gunawan Wibowo. Begitu juga di kalangan dunia usaha. Abi bukanlah pengusaha pertama yang berada di jajaran Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Balikpapan, karena masih ada Gunawan Wibowo BE, namun dia tetap saja menjadi warga Tionghoa yang aktivis di Kadin dan Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Kota Balikpapan, terutama kala Zulbachry menjadi Ketua HIPMI dan belakangan Ketua Kadin. Lantas di dunia usaha dan organisasi olahraga bertebaran sejumlah wajah Tionghoa, semisal H Aspiah, Johnny Santoso, Roy Nirwan, Susan Surbakti, dan banyak lagi. Tapi di kalangan generasi muda, Abi adalah orang Tionghoa pertama yang bergelut di DPD KNPI Kota Balikpapan. Dia menjadi inspirator warga Tionghoa lainnya berkiprah di ormas kepemudaan. Muncullah nama Johny NG, Akin Sudharta di Pemuda Pancasila. Disusul nama-nama lainnya. Suryadi Abidin, sang inspirator itu belakangan bertolak ke negeri leluhurnya untuk menjalani pengobatan di Beijing. Saya amat terkenjut ketika mendapat SMS dari beberapa kawan mantan pengurus KNPI, bahwa Suryadi Abidin meninggal dunia di Beijing pada 2 September 2011, pukul 23.15. Di pikiran saya mengalir ungkapan, kader terbaik itu telah pergi meninggalkan kenangan manis. Selamat jalan sahabat. Tetaplah menjadi yang terbaik. [Sofian Wang, Balikpapan, Tionghoamews] |
KI SABDHO SUTEDJO, DALANG BERDARAH TIONGHOA Posted: 10 Sep 2011 12:56 AM PDT Tee Boen Liong alias Ki Sabdho Sutedjo saat bermain di Gereja St Albertus De Trapani. Ia menjadi salah satu dari sedikit dalang berdarah Tionghoa di Jawa. PROFESI dalang bukanlah profesi yang mudah untuk ditekuni dan diseriusi. Tata bahasa Jawa yang apik berpadu dengan olah vokal ciamik serta kecekatan memainkan wayang kulit menjadi kriteria utama untuk menilai kemampuan seorang dalang. Profesi ini ternyata dipilih sebagai sandaran hidup oleh Tee Boen Liong. Lantas bagaimana kisah Tee Boen Liong berjuang di profesi ini? Sebuah panggung wayang lengkap dengan kelir pada bagian depan terhampar rapi di halaman Gereja St Albertus De Trapani, Blimbing, hari Selasa malam (6/9) lalu. Tepat dihadapan layar, duduk seorang dalang dengan mengenakan baju kuning, blangkon dan sebuah keris diselipkan pada pinggang belakangnya. Seperti lazimnya, dalang ini duduk membelakangi penonton sambil memainkan deret wayang kulit dan bercerita dalam bahasa Jawa halus tentang kisah Wahyu Makutoromo. Pada sebuah banner di bagian belakang panggung wayang tersebut nama sang dalang adalah Ki Sabdho Sutedjo atau Tee Boen Liong. "Lakon Wahyu Makutoromo menceritakan tentang turunnya 8 wahyu pada sang pemimpin terpilih, yaitu Arjuna dari Prabu Kresno," ujar Tee Boen Liong kepada Malang Post. Tutur katanya halus, logat Jawanya bahkan terasa lebih halus mengingat pria berusia 46 tahun ini lahir dan besar dari daerah Kapasan, Surabaya. Baginya, menjadi seorang dalang seolah sudah jadi panggilan jiwa sejak dirinya lahir hingga saat ini. Tee merasa beruntung dilahirkan menjadi seorang cucu dari Jie Sik Po, pemiliki wayang orang Wargo Budoyo yang cukup tenar di sekitar tahun 70-an. " Sejak bayi saya sudah akrab dengan gamelan. Sampai umur dua tahun ibu saya selalu membawa saya saat menjaga loket tiket wayang orang," urai pria yang menggemari tokoh wayang Gatot Kaca ini. Beranjak dewasa area bermain yang dipilih adalah bengkel kerja sang kakek, wayang orang Wargo Budoyo. Setiap kali seusai melihat pertunjukan wayang orang, Tee kecil akan mengulang dialog yang didengarnya sambil memainkan wayang karton tanpa naskah. Saking gemarnya mengumpulkan wayang kartun baru, Tee selalu diingat oleh si penjual wayang karton jika ada tokoh wayang yang baru. "Penjual wayang yang sering lewat depan rumah sampai disiram air oleh kakek. Katanya arek cilik ojok diduduhi wayang tok ae (Katanya, anak kecil jangan ditunjuki wayang saja,red),'' kata Tee mengenang masa kecilnya dengan sang kakek. Kegemarannya memainkan wayang karton akhirnya berujung pada kepercayaan sang kakek untuk melepasnya bermain wayang kulit pertama kali di usia 10 tahun dengan lakon Wahyu Cakraningrat, saat peringatan 17 Agustus di kampungnya. Kemampuannya bermain terus terasah dan mampu menghasilkan prestasi saat terpilih sebagai Juara 1 Dalang Bocah se Jawa Timur tahun 1978 lewat lakon Babad Wanamarta. Keberaniannya untuk terus memainkan wayang kulit ternyata menarik perhatian dalang legendaris Ki Nartosabdho asal Klaten, Jawa Tengah. Tee pun menjadi pendalang Tionghoa yang beruntung sebab sempat menjadi siswa didik Ki Nartosabdho menjelang tutup usia di tahun 1985. "Saya rutin belajar beberapa bulan sekali antara Surabaya-Semarang. Beliau mau menerima saya sebagai murid karena saya adalah orang Tionghoa yang mau mendalang. Beliau juga mengangkat saya sebagai anaknya dan memberikan nama Sabdho Sutedjo untuk saya," imbuh Tee. Jam terbangnya sebagai dalang semakin terasah berdampingan dengan tugasnya berlajar dan mematuhi orang tua sebagai seorang anak. Sebagai putra pertama dari enam bersaudara orang tua Tee menginginkan putranya ulung dalam hal perdagangan dan berkecimpung didunia bisnis, dunia yang dikuasai benar oleh etnis Tionghoa. Maka keinginan untuk kuliah dijurusan kesenian harus kandas berganti jurusan akuntansi, keinginan untuk total berprofesi sebagai Dalang juga harus diurungkan dan berganti dengan profesi Manajer Keuangan dibeberapa perusahaan yang tergolong besar. "Tiga tahun saya sempat mencoba bekerja menjadi karyawan, pernah jadi manager di Xerox, pernah juga di makanan ternak PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), tapi memang dunia saya bukan disitu. Karena orang tua melihat sendiri dan dalang saya juga cukup menghasilkan maka mereka akhirnya merelakan saya terjun di dunia seni sampai sekarang," ujarnya. Hingga kini namanya mulai dikenal diantara beberapa nama besar lain seperti Ki Entus Susmono dan menyusul nama besar lain seperti Ki Manteb Soedharsono. Sebagai dalang lelaku tirakatan juga masih tetap dilakukan walaupun tidak rutin. Puasa Senin-Kamis, Puasa Pati Geni dan juga sikap tetap sabar berbaur menjadi satu dengan kepercayaannya sebagai umat Katolik. "Kadang-kadang masih puasa, yang jelas harus bisa terus sabar, tidak gampang emosi dan latihan vokal dengan rutin," pungkasnya. [Windi Chen, Malang, Tionghoanews] |
You are subscribed to email updates from tionghoanews.com To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
No comments:
Post a Comment