Sunday 28 August 2011

印尼华人 (21/1)

印尼华人 (21/1)


BAGAIMANA MENGHADAPI PACAR YANG SENSITIF ?

Posted: 28 Aug 2011 08:36 AM PDT

Ketidakamanan pada pacar Anda mungkin berasal dari kejadian yang menyakitkan. Jika seorang wanita belum pernah menerima perlakuan yang benar dari seorang pria di masa lalu, ia mungkin menjadi terlalu sensitif ketika seorang pria baru memasuki hidupnya. Jika pacar Anda adalah wanita sensitif, perkuat rasa percaya dirinya dengan pujian dan menghindari kritik apapun. Saat ia merasa lebih baik tentang dirinya sendiri dan lebih aman dalam penerimaan Anda, dia mungkin tidak merasa perlu untuk menggambarkan kesensitifan tersebut. Hubungan Anda kemudian dapat tumbuh normal tanpa takut perdebatan kecil atau kritik menciptakan keretakan antara kalian berdua.

1. Tanyakan pacar Anda jika dia perlu berbicara tentang sesuatu ketika Anda melihat bahwa ia menjadi terlalu marah tentang masalah tertentu. Wanita memungkinkan ketidakamanan dari pengalaman masa lalu untuk meresap ke dalam hubungan mereka saat ini. Berikan padanya perhatian penuh sehingga dia akan merasa nyaman dengan berbagi apa yang mengganggunya.

2. Hindari komentar yang menyiratkan atau mengatakan secara kritis. Pacar sensitif akan menganggap bahkan kritik konstruktif sedikit sebagai serangan pribadi. Hindari menggunakan nada yang keras atau kekasaran fisik apapun dengan pacar sensitif. Gunakan suara tegas namun lembut ketika masalah perlu ditangani.

3. Tambahkan romantisme ekstra ke dalam hubungan. Tindakan romantis kecil seperti mengirim pesan sms yang manis akan membuat pacar Anda merasa istimewa. Pertahankan sikap positif dan semangat romantis untuk membantu pacar Anda tersenyum dan merasa baik tentang dirinya sendiri.

4. Peliharalah ego pasangan Anda untuk membangun rasa percaya dirinya dan membuatnya kurang sensitif. Pujilah penampilannya, caranya berpakaian atau hadiahnya untuk Anda. Dukung hobi yang membuatnya bahagia, dan menyemangati untuk proyek yang terkait dengan pekerjaannya. [Linda Lim, Denpasar, Tionghoanews]

KAMPUS DIDOMINASI MAHASISWA ETNIS TIONGHOA

Posted: 28 Aug 2011 06:23 AM PDT

Kampus yang berada di Wisma BII Lantai 5 Jalan Diponegoro itu memang didominasi oleh mahasiswa berdarah Tionghoa. Namun ada juga mahasiswa asli Indonesia dan warga keturunan India.

Walau begitu, kata Direktur Akubank ICM, Oei Suk Lie  tidak pernah ada perselisihan antara komunikasi yang mereka bangun. Baik saat perkuliahan ataupun diluar perkuliahan. Bahkan waktu perkuliahan yang dimulai saat sore hari membuat lelah, tidak dijadikan persoalan pemicu perbedaan.

"Mereka baik-baik saja, malah sangat akrab dan enak dilihat. Tidak ada perbedaan yang mencolok sehingga menyebabkan sebuah masalah antara mahasiswa, justru mereka sering bertukar pikiran dan bersenda gurau,"jelas Oei.

Disamping itu, saat ditanyai mengenai biaya perkuliahan, Oei menegaskan biaya kuliah di Akubank ICM tidak tergolong mahal. Malah angka tersebut masih tergolong murah. Pasalnya Mahasiswa hanya harus mempersiapkan Rp 16juta saja dan bisa dibayar secara angsur.

Mahasiswa diperbolehkan mencicil Rp2juta pertiga bulan selama dua tahun. Maka hitungannya, Rp2juta pertiga bulan dikalikan empat adalah Rp8juta dan jika dikalikan dua tahun perkuliahan hasil yang didapatkan Rp16juta. Selain itu juga mahasiswa yang membayar lunas diberi potongan Rp 4juta.

"Bayar lunas akan diberikan potongan harga menjadi Rp 12juta dan akhirnya mahasiswa tidak lagi memikirkan biaya perkuliahan, maka mereka bisa fokus dengan belajar saja. Mahasiswa juga dikenakan biaya pendaftaran Rp 500ribu dan biaya buku Rp 1juta, namun selain itu tidak ada tambahan biaya apapun,"ucap Oei.

Oei menegaskan maka, total biaya perkuliahan selama dua tahun yakni mahasiswa diharuskan melunasi Rp 17,5juta, tetapi bagi mahasiswa yang mampu membayar lunas hanya Rp 13,5juta saja.

Oei menjelaskan penerimaan mahasiswa masih dibuka hingga Oktober 2011 saja. Jadi kata Oei kepada calon mahasiswa baru sudah bisa merapatkan langkah kakinya menuju Wisma BII lantai 5 untuk mendaftar. [Angelina Lim, Medan, Tionghoanews]

LUKISAN KEMATIAN

Posted: 28 Aug 2011 02:31 AM PDT

Cerpen: Di kampung kami ada seorang pelukis yang unik. Dia hanya akan melukis wajah manusia yang telah sampai pada ajalnya. Orang kampung kami menyebut lukisannya: lukisan kematian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan kenangan. Sedang aku lebih suka menyebutnya: lukisan misteri kematian.

Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.

Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping mobil dinasnya.

"Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku," katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.

"Lho, tapi Mas, kok…!" Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. "Ini kok, mobilnya utuh?" Pelukis itu hanya diam. "Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek."

Dengan tenang, pelukis itu menjawab. "Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu, akan peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan."

"Apa cukup semudah itu?"

"Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu."

Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas.

Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah.

"Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya," pintanya.

Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya telah tiada.

"Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?" tanya si pelukis.

"Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku."

"Ibumu?"

"Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan," katanya, lalu pergi.

Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.

Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.

Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar. Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa.

Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar. Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.

"Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?"

"Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya."

"Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?"

"Kenapa, emang?" Aku diam.

"Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah dalam tubuhnya."

Aku diam saja. Terharu.

"Kamu tahu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. "Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di laut."

Hampir, airmataku copot dan meleleh dari kebekuannya.

"Lalu bagaimana dengan ibumu?"

"Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini, anak  jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud 'anak jadah' itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku, tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku pun mendoakan ibu."

Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah.

"Mengapa kamu menangis?" tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.

"Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan."

"Mulia sekali niatmu."

"Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah."

"Maksudmu?"

"Tak ada nilainya." Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.

"Banyak sekali pesananmu sekarang?"

"Seperti yang kau lihat."

"Boleh, aku melihatnya?" Dia mengangguk.

Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah 'cinta gila', di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya.

Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma.

Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya?

Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.

Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam pikiran.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…!

Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya. [Anita Li, Jayapura, Tionghoanews]

BANGUN TIDUR LANGSUNG MEROKOK TINGKATKAN RESIKO KANKER

Posted: 28 Aug 2011 02:19 AM PDT

Dua Studi baru mengungkapkan bahwa orang yang langsung merokok setelah bangun tidur di pagi hari memiliki risiko lebih besar menderita kanker paru-paru, leher dan kepala.

Temuan oleh para peneliti di Columbia University Mailman School of Public Health dan Penn State College of Medicine diharapkan membantu mengidentifikasi perokok yang memiliki resiko sangat tinggi terkena kanker dan bermanfaat untuk mengurangi risiko mereka.

Merokok meningkatkan kemungkinan seseorang mengembangkan berbagai jenis kanker. Tapi mengapa hanya beberapa perokok yang terkena kanker? Para peneliti menyelidiki apakah ketergantungan nikotin yang dihisap setelah bangun tidur di pagi hari dapat mempengaruhi risiko perokok mengidap kanker paru-paru, leher dan kepala. Serta bagaimana kaitan antara frekuensi dan durasi merokok dalam risiko tersebut.

Analisis pada 4.775 kasus kanker paru-paru menemukan bahwa seseorang yang merokok dengan durasi lebih dari 60 menit setelah bangun tidur memiliki risiko 1,31 kali lebih mungkin mengembangkan kanker paru-paru. Sementara mereka yang merokok 30 menit setelah bangun tidur kemungkinannya sebesar 1,8 kali lebih besar.

Sedangkan 1.055 kasus dari kanker leher dan kepala yang diakibatkan karena merokok mengungkapkan jika merokok selama 60 menit setelah bangun tidur memiliki risiko 1,42 kali lebih mungkin mengembangkan kedua kanker ini. Dan mereka yang merkok selama 30 menit di waktu yang sama berisiko 1,59 kali lebih mungkin untuk mengembangkan kanker yang sama.

Temuan ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk merokok setelah bangun tidur di pagi hari dapat meningkatkan kemungkinan perokok terkena kanker. Demikian seperti dikutip Medical Xpress, Minggu (28/8/2011) oleh Tionghoanews.com

"Orang yang langsung merokok setelah bangun tidur, ternyata menghisap nikotin dan racun tembakau lebih tinggi, serta kemungkinan lebih kecanduan daripada perokok yang mulai merokok setengah jam atau lebih setelah bangun tidur di pagi hari," kata Joshua Muscat, PhD, dari Penn State College of Medicine di Hershey.

Dr Steven D. Stellman, profesor epidemiologi klinis di University Mailman School of Public Health menyatakan bahwa mereka telah menemukan kaitan antara durasi merokok dengan risiko kanker. Penemuan ini merupakan hasil yang baru dari efek negatif yang ditimbulkan rokok.

"Berbagai penelitian terus dilakukan guna memperluas pengetahuan kita tentang bahaya penggunaan tembakau," cetus Stellman.

Para peneliti berharap dengan hasil yang mereka temukan, maka para perokok bisa lebih waspada untuk menghisap tembakau. Perokok diharapkan untuk segera berhenti merokok guna mengurangi efek negatif dari tembakau bagi kesehatan. [Roswati Lim, Mataram, Tionghoanews]

TE CONG ONG PHO SAT - BODHISATYA KSITIGARBHA

Posted: 27 Aug 2011 09:12 PM PDT

[我不入地獄,誰入地獄]  "Kalau bukan aku yang ke Neraka, siapakah yang akan pergi ke Neraka?" Kalimat ini sering dipakai untuk melukiskan semangat & tekad Kalau bukan saya siapa lagi, hanya satu-satunya yaitu diri sendiri menghadapi dengan keberanian, suatu keadaan yang luar biasa sulit, di mana orang lain satu demi satu akan menghindar dari hal tersebut. Sebenarnya, kalau kita mengerti betapa menakutkan & menderitanya berada di Neraka, yang bisa mengucapkan & bisa melaksanakan sekaligus, barangkali hanya Te Cong Ong Pho Sat.

[地藏王菩薩] Di Zang Wang Pu Sa {Hok Kian = Te Cong Ong Pho Sat} atau disebut juga Di Zang Pu Sa {Te Cong Pho Sat}. Dalam bahasa Sansekerta disebut Bodhisatva Ksitigarbha, adalah dewata Buddhisme yang paling banyak dipuja oleh masyarakat di samping Guan Yin Pu Sa.

Di berarti bumi yang amat besar. Zang berarti menyimpan. Ini menunjukkan bahwa hati Te Cong Ong Pho Sat seperti bumi yang amat besar, yang dapat menyimpan apa saja, termasuk manusia yang tak terhitung jumlahnya, terutama yang memiliki akar kebajikan.

Te Cong Ong Pho Sat adalah salah satu dari 4 Bodhisatva yang amat dihormati oleh umat Buddhis Mahayana. Keempat Boddhisatva tersebut masing-masing memiliki 4 kwalitas dasar :

1. Guan Yin Pu Sa sebagai lambang Welas Asih.
2. Wen Su Pu Sa sebagai lambang Kebijaksanaan.
3. Pu Xian Pu Sa sebagai lambang Kasih & Pelaksanaan.
4. Di Zang Pu Sa sebagai lambang Keagungan dalam sumpah untuk menolong roh-roh yang sengsara.

Sumpah Agungnya yang penuh rasa welas asih berbunyi : "Kalau bukan aku yang pergi ke Neraka untuk menolong roh-roh yang tersiksa di sana, siapakah yang akan pergi? …… Kalau Neraka belum kosong dari roh-roh yang menderita, aku tidak akan menjadi Buddha."

Di dalam hati orang Tionghoa, Te Cong Ong Pho Sat adalah Dewa Pelindung bagi arwah-arwah yang mengalami siksaan di Neraka, agar mereka dapat terbebas & terlahir kembali (tumimbal lahir). Beliau sering dikaitkan dengan 10 Raja Akhirat (Shi Tian Yan Wang). Ke sepuluh Raja Akhirat adalah bawahan langsung dari beliau, sehingga beliau bergelar You Ming Jiao Zhu (Pemuka Agama di Akhirat). Beliau menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insyaf dari perbuatan buruknya di masa yang lalu, & tak akan mengulangnya lagi, agar dapat terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang.

Sejarah Te Cong Ong Pho Sat tercatat dalam Kitab Suci Buddhis sebagai berikut: Ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya & masuk Nirwana, 1.500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia & terlahir di Korea, dengan nama Jin Qiao Jue {Kim Kiauw Kak}, seorang pangeran dari keluarga Raja di negeri Sin Lo. Setelah banyak orang mengetahui bahwa ia adalah penitisan Buddha, mereka memanggilnya Jin Di Zang. Beliau berwatak sederhana, welas asih & berbudi, tidak serakah akan harta & tahta. Ia amat gemar mendalami ajaran Kong Hu Cu & Buddha.

Pada tahun 653 M, tahun Yong Wei ke-4, yaitu masa pemerintahan Kaisar Tang Gao Zong, Jin Qiao Jue yang pada waktu itu berusia 24 tahun dengan membawa seekor anjing yang diberi nama Shan Ting (arti harfiah : "Pandai Mendengar") berlayar menyeberangi lautan, kemudian sampai di pegunungan Jiu Hua Shan, propinsi An Hui.

Gunung Jiu Hua Shan sebenarnya adalah milik Min Gong {Bin Kong}. Min Gong adalah orang yang sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian untuk 100 orang Bikkhu. Namun, setiap kali ia hanya bisa mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah 100 orang.

Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari Bikkhu yang ke-100. Ketika melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi di sebuah gubuk, ia segera menghampirinya & mengundangnya datang ke rumah untuk makan bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Min Gong kelihatannya berjodoh dengannya, lalu memenuhi undangannya, tapi dengan mengajukan 1 permintaan. Permintaannya sederhana: ia hanya menginginkan sebidang tanah di Jiu Hua Shan seluas baju Kasa-nya (Jubah Suci Bikkhu) yang ditebarkan. Melihat permintaan yang sepele itu, Min Gong langsung menyetujuinya. Namun keanehan terjadi. Ketika Jin Qiao Jue menebarkan baju kasanya ke udara, ternyata baju pusaka tersebut berubah menjadi luar biasa besar sehingga dapat menutup seluruh pegunungan itu.

Demikianlah Min Gong lalu menyerahkan Jiu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah & mengajar Dharma. Min Gong bahkan menyuruh putranya untuk menemani Jin Qiao Jue menjadi Bikkhu. Putra Min Gong ini kemudian disebut Dao Ming He Sang {To Bing Hwe Sio}. Selanjutnya Min Gong pun meninggalkan kehidupan-nya yang penuh kemewahan untuk ikut menjadi penganut Jin Qiao Jue & mengangkat Dao Ming He Sang, putranya sendiri, menjadi gurunya, & mensucikan diri di gunung Jiu Hua Shan.

Dewasa ini, gambar ataupun arca Te Cong Ong Pho Sat biasanya dilengkapi dengan seorang Bikkhu muda yang berdiri di sebelah kiri & seorang tua berdiri di sebelah kanannya. Itu adalah Dao Ming He Sang & Min Gong.

Jin Qiao Jue bertapa di Gunung Jiu Hua Shan selama 75 tahun, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia. Te Cong Ong Pho Sat wafat di usia 99 tahun, tahun 728 M, pada masa pemerintahan Kaisar Xuan Zong dari Dinasti Tang, pada bulan 7 tanggal 30 penanggalan Imlek. Inilah sebabnya mengapa setiap tanggal tersebut orang Tionghoa banyak membakar hio yang disebut Di Zang Xiang {Te Cong Hio} atau Dupa Te Cong.

Jenazah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah gua batu kecil. Sampai pada suatu ketika jenazah dikeluarkan, tapi masih dalam keadaan baik & tidak membusuk, & wajahnya seperti orang tidur.

Pada masa pemerintahan Kaisar Xiao Zong, para umatnya membangun sebuah pagoda di Nan Tai (salah satu puncak di Jiu Hua Shan) & menempatkan abunya di sana. Tatkala pagoda tersebut selesai dibangun & abu telah ditempatkan, ternyata dari pagoda itu mengeluarkan sinar yang terang-benderang, sehingga mengherankan orang-orang yang ada di situ. Tempat itu lalu diubah namanya menjadi Shen Guang Ling yang berarti Bukit Cahaya Dewa. Sejak itu Jiu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha.

Di Tiongkok terdapat 4 Gunung Suci untuk umat Buddha :

- Jiu Hua Shan di propinsi An Hui.
- Wu Tai Shan di Propinsi Shan Xi.
- Er Mei Shan di propinsi Si Chuan.
- Pu Tuo Shan di propinsi Zhe Jiang.

Jiu Hua Shan yang merupakan Gunung Suci umat Buddha, sebenarnya adalah salah satu cabang dari pegunungan Huang Shan, dengan tinggi +1.000 m. Karena 9 puncaknya berbentuk seperti bunga yang sedang mekar, maka orang-orang lalu menamakannya Jiu Hua Shan (Gunung 9 Bunga). Di sini terdapat 108 buah Kuil Buddha. Yang tertua adalah Hua Cheng Si.

Zaman dulu setiap bulan 7 tanggal 30 Imlek, para umat banyak yang berbondong-bondong ke Kelenteng Hua Cheng Si untuk merayakan ulang tahun Di Zang Wang. Bangunan Kelenteng ini sangat indah, penuh ukiran kayu & batu yang bermutu tinggi sehingga para pengunjung dapat menikmati suatu karya seni Tiongkok Kuno yang amat bernilai. Selain itu patut dinikmati pula peninggalan sejarah berupa tulisan & prasasti yang ditulis oleh para Kaisar zaman dulu yang berkunjung ke Kelenteng ini. Ruang utama kelenteng ini disebut Yue Shen Bao Dian, adalah tempat wafatnya Te Cong Ong Pho Sat. dalam ruang ini terdapat batu yang tercatat telapak kakinya. Para pengunjung yang memasuki ruangan ini selalu berdoa sambil membakar dupa.

Dalam masyarakat pemujaan Te Cong Ong Pho Sat amat populer, tidak hanya di kalangan Buddhis saja. Selain dipuja di kelenteng yang bercorak Buddha, Te Cong Ong banyak terdapat di kelenteng-kelenteng keluarga, rumah-rumah abu atau tempat pembakaran mayat. Tujuannya agar roh leluhur mereka memperoleh perlindungan dari Te Cong Ong Pho Sat sehingga dapat lebih cepat terbebas dari siksaan di Neraka & terlahir kembali. Kadang kala upacara di tempat itu dilakukan secara Taoisme, tapi bagi masyarakat umum hal ini tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah sembahyang itu sendiri, tanpa perduli apakah itu dari Taois atau Buddhis.

Menurut Buku "Catatan dari Beijing", pada malam peringatan hari lahir Te Cong Ong Pho Sat, diadakan sembahyang & diadakan pembacaan paritta di kelenteng-kelenteng di Beijing & sekitarnya. Dipersiapkan juga sebuah perahu dari kertas & bambu, di dalamnya ditempatkan arca Te Cong Ong & 10 Raja Akhirat yang juga terbuat dari kertas. Tengah malam setelah selesai upacara sembahyang, lilin di tengah perahu itu dinyalakan & perahu itu diturunkan ke air & dibiarkan mengalir ke mana saja. Masyarakat yang menunggu di tepi sungai juga melepaskan lilin kecil yang diapungkan di atas piring kertas & mengalir mengikuti perahu tersebut. Upacara ini disebut Liu Hua Deng (Mengalirkan Lentera Bunga). Propinsi-propinsi lain di Tiongkok seperti Jiang Su, Zhe Jiang juga mempunyai kebiasaan seperti ini, walaupun dengan variasi yang berbeda.

Te Cong Ong Pho Sat ditampilkan dalam keadaan duduk di atas teratai, memakai topi Buddha berdaun 5 dengan wajah yang memancarkan sinar kasih, membawa tongkat bergelang. Pada saat dibawa berjalan, gelang-gelang yang ada di ujung tongkat ini akan berbunyi gemerincing. Bunyi ini diharapkan dapat membuat serangga atau hewan kecil lainnya menyingkir agar tidak terinjak Sang Bikkhu, sebab salah satu Sila Dasar agama Buddha adalah tidak membunuh makhluk hidup. [Siao Wei, Tanjung Pinang, Tionghoanews]

PENYESUAIAN DIRI TERNYATA BERBANDING TERBALIK DENGAN KERJASAMA

Posted: 27 Aug 2011 08:55 PM PDT

Orang-orang yang patuh pada norma-norma sosial (konformis) mungkin selalu mencoba untuk dapat menyesuaikan diri dengan khalayak. Namun menurut temuan terbaru, ternyata mereka tidak selalu dapat melakukan kerja sama dengan baik.

Para peneliti di University of East Anglia, Inggris, membuat sebuah permainan untuk mengamati perihal kerjasama diantara pasangan peserta studi untuk menentukan tingkat konformitas sosial, dan mereka menemukan bahwa kelompok yang terdiri dari para konformis ternyata cenderung untuk bermain sendiri-sendiri (tidak bekerja sama).

Pada bagian pertama dari eksperimen, peserta diberikan nilai seberapa banyak mereka ingin menyesuaikan diri, yaitu berdasarkan minat bersosialisasi mereka. Kemudian mereka ditanya tentang sikap mereka mengenai pembayaran pajak.

Dan mereka-mereka yang memiliki keinginan berperilaku sosial yang lebih tinggi, yang dikategorikan sebagai "konformis", lebih menyatakan kerelaan membayar pajak  untuk sekadar menaati norma sosial.

Pada percobaan kedua, peserta dipasangkan berdasarkan tingkat kesesuaian mereka untuk memainkan permainan, di mana mereka harus mengalokasikan dana untuk proyek-proyek kesejahteraan masyarakat. Pada intinya, permainan yang melibatkan pembayaran pajak. Jika bermain secara kooperatif akan menguntungkan kedua pasangan, sementara jika bermain tidak kooperatif akan lebih menguntungkan individu yang kurang kooperatif.

Meskipun memiliki kesediaan untuk membayar pajak lebih tinggi, namun peserta dengan tingkat konformis yang lebih tinggi ternyata ditemukan bahwa mereka bermain dengan tidak kooperatif dan tidak saling membantu sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang non-konformis.

"Berlawanan dengan prediksi kami, kepatuhan ternyata tidak selalu dapat bekerjasama," kata koordinator penulis makalah, Dr Piers Fleming dalam siaran pers. "Minat terhadap sososialisasi yang kini merambah masyarakat secara global, ternyata tidak berarti dapat benar-benar mendorong orang untuk bekerja sama dengan lebih baik.

Para peneliti meneliti lebih lanjut efek umpan balik positif pada berbagai tingkat kerjasama. Mereka menemukan bahwa ketika peserta didorong untuk menyumbang lebih, hanya pasangan peserta konformis berperingkat rendah yang memulai dengan lebih banyak berbagi.

"Dalam studi ini, walaupun orang-orang yang konformis menyatakan lebih cenderung untuk membayar pajak, pada kenyataannya, mereka tidak senang untuk membayar lebih dari yang dibayar oleh rekan mereka sebelumnya," ujar salah satu tim penulis Profesor Daniel Zizzo dalam rilisnya.

"Sebaliknya, individu-individu yang kurang minat sosialnya, cenderung bersedia untuk mengabaikan investasi rekan mereka dengan berinvestasi lebih banyak. Hal ini menyebabkan investasi yang lebih besar bagi kedua pihak dan tentunya saling menguntungkan."

Studi ini diterbitkan dalam Personality and Individual Differences edisi Agustus. (Ginger Chan, Surabaya, Tionghoanews)

TERHINDAR DARI BAHAYA KARENA BAIK HATI

Posted: 27 Aug 2011 06:45 PM PDT

Pada zaman dinasti Ming, ada seorang saudagar yang berasal dari Anhui bernama Wang Shan dia telah berumur empat puluh tahun lebih belum mempunyai keturunan. Pada suatu hari ketika pergi ke kota lain berdagang dia mendengar dikota tersebut ada seorang peramal nasib yang sangat pintar, lalu dia pergi pencari peramal nasib ini. 

Peramal nasib ini setelah melihat wajah Wang Shan dengan wajah sedih berkata, "Benarkah engkau sampai hari ini tidak mempunyai anak?" Wang Shan menjawab, "Benar." Peramal melanjutkan "Engkau tidak saja tidak akan mempunyai anak, bahkan bulan oktober yang akan datang engkau akan ditimpa bencana besar."

Wang Shan sangat percaya kepada peramal nasib ini,  dia lalu pergi ke Fengzhou, menutup semua usahanya membawa pulang semua hartanya bermaksud pulang ke kampung halamannya.

Pada saat itu bulan oktober musim hujan, air sungai meluap, perahu tidak dapat berlayar, oleh sebab itu sementara dia hanya bisa menginap disebuah hotel.  Setelah senja cuaca mulai cerah kembali, untuk menghilangkan rasa bosan dia pergi jalan-jalan ke tepi sungai, dia melihat ada seorang perempuan terjun melompat ke sungai bunuh diri. 

Dia langsung berteriak kepada tukang perahu yang ada disana meminta tolong sambil berkata, "Siapa yang dapat menyelamatkan perempuan itu saya akan menghadiahkannya 20 Yuan." Tukang perahu setelah mendengar perkataannya bergegas menyelam akhirnya perempuan tersebut dapat diselamatkan, dia memberikan 20 Yuan kepada tukang perahu.

Wang Shan bertanya kepada perempuan itu kenapa membunuh diri, "Ketika suamiku pergi bekerja, di rumah saya ada seekor babi peliharaan kami, babi itu akan kami jual untuk membayar sewa sawah. Kemarin saya telah menjual babi saya, tetapi uang yang saya terima adalah uang palsu, karena takut dimarahi oleh suamiku dan keadaan perekonomian kami sangat susah, oleh sebab itu saya putus asa dan melompat kedalam sungai. " Wang Shan setelah mendengar ceritanya sangat prihatin terhadapnya, lalu bertanya berapa harga babi yang telah dijualnya, dan dia lalu memberi kepadanya uang 2 kali lipat harga babi itu tersebut.

Ketika perempuan ini hendak pulang ke rumahnya ditengah jalan dia bertemu dengan suaminya, sambil menangis dia menceritakan kejadian ini kepada suaminya. Tetapi suaminya sangat curiga, pada malam hari, suami istri ini datang ketempat penginapan Wang Shan untuk bertemu dengannya, ketika sampai di penginapan, Wang Shan sedang berada dikamarnya, suami perempuan ini menyuruh istrinya mengetuk pintu kamar Wang Shan. Wang Shan bertanya siapa yang mengetuk pintu?, wanita ini menjawab ,"Saya adalah wanita yang tadi sore engkau selamatkan, saya datang khusus mengucapkan terima kasih." Wang Shan dengan suara serius berkata, "Engkau adalah seorang wanita, saya adalah seorang lelaki, hari sudah malam tidak pantas bertemu, segera kembali ke rumahmu, jika ingin mengucapkan terima kasih, besok pagi engkau bersama suamimu dapat kembali."

Pada saat ini kecurigaan suami wanita ini langsung sirna, dengan tulus berkata, "Kami suami istri sekarang berada disini." Wang Shan berjalan keluar dari kamarnya, pada saat itu dia mendengar sebuah suara keras seperti sesuatu yang ambruk, karena terkejut mereka lalu masuk kembali ke kamarnya melihat, rupanya dinding bagian belakang dari kamarnya telah ambruk karena longsor yang disebabkan hujan terus menerus, dinding tersebut menimpatempat tidurnya sampai hancur. Jika dia pada saat ini tidak keluar dari kamarnya pasti ia akan tertimpa longsoran. Pasangan suami istri ini setelah mengucapkan terima kasih, pergi meninggalkan tempat itu.

Keesokan harinya dalam perjalanan pulang ke kampungnya Wang Shan bertemu dengan peramal nasib itu. Setelah bertemu dengan Wang Shan dengan terkejut dia berkata kepada Wang Shan, "Wajahmu sangat cerah, engkau tentu telah melakukan sebuah kebaikan besar. Hal tersebut tidak saja membuat engkau terhindar dari malapetaka, dilain hari engkau akan mendapatkan balasan besar yang tidak terduga."

Akhirnya benar saja, Wang Shan berturut-turut mendapatkan sebelas anak, diantaranya 2 orang anaknya menjadi pejabat besar. Sedangkan Wang Shan sendiri berumur panjang sampai 98 tahun baru meninggal dunia. [Liana Yang, Surabaya, Tionghoanews]

No comments:

Post a Comment